Rasa Yang Tak Sempat Menjadi Kata

 Rasa Yang Tak Sempat Menjadi Kata


“Pokoknya aku nebeng Mas Bayu!” rengek Kenes dan terus mengikuti langkahku.

 

Aku menarik nafas panjang. Menghentikan langkah gadis yang masih seumuran adikku. Aku menoleh kearahnya. Ada sedikit kesal menjalari perasaanku.

 

“Bareng aja Narend, aku udah ada janji! Awas ya kalo ngeyel!” ancamku lalu memakai helmku dan menuju garasi. Akupun lalu melajukan motorku dan mengabaikan gadis yang mulai menunjukkan wajah kecewanya. Tapi, aku tak peduli.

 


Aku menatap nanar kea rah luar sana. Dari jendela lantai 15, kulihat kendaraan berlalu lalang. Sudah waktunya pulang kerja, kendaraan sungguh padat. Sebenarnya pekerjaanku sudah kelar, tapi entah mengapa kakiku terasa berat untuk melangkah pulang.

 

Sejak sedari siang, pikiranku kacau. Entah mengapa kenangan 17 tahun yang lalu kembali menghantui pikirku. Kegilaan cewek yang selalu mengusik ketenanganku, seolah menjadi rindu yang mustahil terobati.

 

Kini, aku sudah tak sendiri lagi. Aku adalah seorang suami sekaligus seorang ayah dari dua putri yang amat cantik dan manis. Tapi entah mengapa, aku sungguh merindukan kegilaan gadis di masa lalu itu.

 

Semenjak aku lulus SMA, aku meninggalkan Yogyakarta. Aku melanjutkan kuliah di Jakarta dan semenjak saat itu aku jarang ke Yogyakarta karena di sana bukan rumahku—melainkan rumah pamanku. Dan gadis itu tetangga pamanku sekaligus teman Narend sedari kecil. Yah, Narendra Wibowo—adik sepupuku.

 

Tiga tahun sekolah di Jogja, gadis itu tak pernah lelah menggangguku. Dia selal mengusikku dengan kegilaannya. Dia selalu rewel dan ingin berangkat maupun pulang sekolah bersamaku. Tapi aku selalu menolaknya.

 

Hingga suatu hari—untuk yang pertama dan terakhir kalinya—kala itu aku kelas XII dan ada tambahan pelajaran, sementara Kenes sepertinya pulang ekskul. Hujan begitu deras. Tak ada angkutan umum. Sementara hari kian sore. Hatiku merasa khawatir jika aku meninggalkannya. Terpaksa, akupun mengajaknya pulang bersama. Tapi sialnya, hal itu diketahui Rahmi—kekasihku. Keesokan harinya, Rahmi memutuskanku. Dan semenjak hari itu, aku semakin membenci Kenes.

 

Meskipun dia tahu kalau aku sangat membencinya, tapi Kenes tak pernah henti mengejarku. Dia selalu menjadi pendukung utamaku saat aku main basket. Dia selalu memberikanku kado di hari special seperti di hari ulang tahunku, hari valentine, bahkan di hari kelulusanku hanyalah dia yang memberikan kado spesial.

 

Kalian tahu? Dinding pertahananku sempat runtuh. Baru saat itu aku dicintai dengan begitu hebatnya. Tapi, kukikis rasa itu. Aku yang awalnya berniat melanjutkan kuliahdi Jogja, akupun berganti Haluan kembali ke Jakarta. Ternyata, Narend—adik sepupuku—mencintai sahabat kecilnya itu.

 

Narend tahu kalau Kenes mencintaiku. Tapi dia abaikan. Narend seolah menjadi payung dalam setiap badai yang menerjang gadis gila itu. Dan aku tak mungkin meruntuhkan perasaannya karena egoku.

 

“Kriiiingggg!” suara telpon mengagetkan lamunanku.

 

“Halo?” tanyaku ke Seberang.

 

“Papa! Papa kapan pulang?” tanya suara mungil itu dari Seberang.

 

“Bentar lagi Papa pulang, Sayang. Tunggu Papa ya, Sayang.”

 

“Oke Papa! Nenes dan Adek Ndis nungguin Papa pulang. Dada Papa, ati-ati di jalan.”  Gadis mungil itu kemudian menutup telponnya. Tanpa piker panjang, aku langsung berkemas dan pulang.

 

Sepanjang perjalanan pulang, entah mengapa pikirku terus saja terbayang masa lalu. Hatiku terus bertanya, sedang apa gadis itu? Di mana dia sekarang? Apakah dia sudah menikah? Dan kegilaan apa yang merasukiku, tiba-tiba ada rasa inginku tanyakan tentangnya pada Narend. Argh, apakah aku sudah gila?

 


“Papa, besok antar Nenes ya? Nenes pengen diantar Papa ke sekolah,” rengek putri pertamaku saat aku tengah menemaninya bermain.

 

“Tapi kan Papa harus kerja, Sayang. Mama aja ya yang antar,” bujuk isteriku.

 

“Nggak mau, Nenes juga ingin diantar sama Papa!” Kalau sudah seperti ini, keinginannya tak bisa digugat. Sama seperti Kenes. Keras kepala.

 

“Iya sayang, besok Papa yang antar ya? Sekarang mainannya udahan dulu, Nenes cuci kaki, gosok gigi, lalu bobok ya,” rayuku pada bocah berusia 7 itu. Diapun menuruti perkataanku.

 

Sementara Ratna—isteriku—mendekat ke arahku.

 

“Gendhis sudah tidur?” tanyaku pada Ratna.

 

“Sudah dari tadi Mas,” jawabnya. “Oh ya Mas, ternyata anaknya Pak Ibra satu sekolah dengan Kenes hlo. Tadi aku sempat ketemu sewaktu Beliau mengantarkan anaknya bersama isterinya,” lanjut Ratna.

 

“Isterinya? Memangnya ada di Jakarta? Kata teman-teman, isterinya itu di luar kota,” tanyaku heran.

 

“Mungkin sudah kembali, isterinya cantik kayak model.”

 

Aku hanya manggut-manggut. 5 tahun menjadi bawahannya Pak Ibra, aku sama sekali tak pernah ketemu dengan isterinya. Beliau terlalu tertutup mengenai keluarganya. Dari desas-desus yang kudengar, isterinya berada di luar kota. Dan mereka hanya bertemu setiap weekend. Konon, katanya isterinya juga mempunyai bisnis sendiri di luar kota. Tapi di kota mana, entahlah. Aku kurang tertarik untuk mengetahuinya.

 

Aku menurukan Nenes dari mobilku. Lalu mengantarkannya masuk sekolah. Dan entah ini halusinasiku atau memang kenyataannya, aku melihat seseorang yang akhir-akhir ini mengusik tenangku. Perempuan berperawakan tinggi dan masih langsing seperti dulu, rambut panjangnya masih lurus seperti dulu, kulitnya yang dulu sedikit gelap kini lebih cerah dan bersinar. Aku yakin, aku tak salah lihat.

 

Aku terpaku memandanginya. Pun dengan dirinya, sepertinya sama-sama terkejutnya seperti diriku. Tapi, aku lebih terkejut lagi ketika dai belakangnya datang seorang lelaki yang tak asing dalam pandanganku.

 

“Sayang, Leon sudah masuk. Yuk, ke kantorku atau kamu mau pulang?” tanya lelaki itu lalu memandangku. “Hlo Bay, anakmu sekolah di sini?” lanjutnya bertanya lalu berjalan menuju ke arahku.

 

Aku tersenyum. Meskipun aku terkejut.

 

“Oh ya, sini Sayang, kenalkan ini Bayu dan itu isteriku Bay, namanya Ghaida,” lanjut lelaki yang kupanggil Pak Ibra. Sementara perempuan itu berjalan mendekat ke arah kami. Aku dan dia saling berjabat tangan dan menyebutkan nama kami. Ku tetaplah dipanggil Bayu, sementara dia mengenalkan namanya dengan nama Ghaida. Kenes Surinala Ghaida—si jantung hati yang menawan dan baik hati.

 

“Oh ya Bay, sekarang isteri dan anakku pindah ke Jakarta, bisnisnya yang ada di Jogja biar di handle sama Rifky. Aku sengaja memindahkannya ke Jogja. Dan nggak nyangka ya Bay, anak kita juga satu sekolah,” ucap Pak Ibra panjang lebar.

 

Sejenak kami ngobrol meskipun aku masih terjebak dalam keterkejutan. Hingga akhirnya Pak Ibra mengakhiri percakapan ini lalu mengajak isterinya kembali. Aku masih mematung. Ada lega tapi juga kecewa bercampur penyesalan. Perempuan yang 17 tahun lalu kuacuhkan, kini diratukan oleh atasanku sendiri. Perempuan yang dulu kupandang sebelahmata, kini harus kuhormati kehadirannya. Perempuan yang dulu kuanggap gila dan menyebalkan, kini dia telah menjelma menjadi perempuan anggun dan berkelas.

 

Ada lega karena dia hidup dengan baik-baik saja. Tapi ada kecewa, setidaknya dia sempat menghuni dalam hatiku. Bahkan mengganggu pikirku, hingga saat ini. Dan jujur, dia adalah perempuan yang tak pernah bisa kulupakan hingga nama anak pertamaku kuberi nama seperti dia, Kenes.

Pages (4)1234 Next »